![]() |
Potret lawas tahun 1910, pemandangan Pulau Nias, bebatuan megalitik, rumah adat beratap runcing |
![]() |
ukiran batu, wajah warga tua suku Nias, simbol-simbol adat |
> "Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Nias hidup dalam tatanan sosial yang kompleks, spiritualitas yang dalam, dan kebudayaan yang magis. Jejaknya masih tersisa—di batu-batu megalitik, di ritus, dan dalam memori yang diwariskan turun-temurun."
![]() |
wajah serius seorang tetua suku |
> "Namun ada satu bab dalam sejarah mereka... yang membekas kuat. Sebuah tradisi yang keras, namun sakral. Tradisi yang dikenal sebagai... Manga’i Binu."
![]() |
gambar prajurit Nias membawa parang |
> "Manga’i binu, atau perburuan kepala, bukan sekadar kekerasan. Ini adalah upacara. Sebuah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur. Tindakan berani yang menjadi syarat kedewasaan... dan penanda status sosial."
> "Namun seiring waktu, angin perubahan datang. Agama Samawi dan pengaruh luar perlahan menggeser makna-makna lama. Manga’i binu ditinggalkan... bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang sebagai bagian dari perjalanan sejarah."
> "Suku Nias hari ini mungkin telah berubah, namun warisan mereka... tetap hidup. Dalam seni, dalam cerita, dan dalam kekuatan magis yang tidak pernah sepenuhnya hilang."
📝 Editor: Meijieli Gulo